Jacob Ereste : Nilai Spiritualitas Presiden Syarifuddin Prawiranegara Pada Masa Pemerintahan Indonesia Darurat Yang Dilupakan
- account_circle Rls/Red
- calendar_month Sab, 31 Mei 2025
- visibility 20

Tegarnews.co.id–Karang Ampel, 1 Juni 2025| Salah satu tokoh penting yang sangat berperan semasa perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia di masa yang belum enak seperti sekarang adalah Syafruddin Prawiranegara, pejuang tangguh yang sepi ing pamrih dari Serang, Banten. Ia menjabat Presiden Indonesia di masa darurat, setidaknya pemerintahan yang dia pimpin ketika itu jelas disebut Pemerintah Darurat Republik Indonesia alias PDRI, pada tahun 1948 di Sumatra Barat.
Presiden Soekarno memberikan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk menjabat Presiden Republik Indonesia dalam kontek Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dalam kondisi darurat setelah terjadi Agresi Militer Belanda II berhasil menangkap Soekarno, Moch. Hatta serta tokoh lainnya di Yogyakarta. Dan ketika itu, Syafruddin Prawiranegara berada di luar Yogyakarta dan dianggap sosok yang paling mampu menjaga dan meneruskan pemerintahan negara Indonesia, dimana pun dia kehendaki.
Begitulah kepemimpinan yang terpercaya dan berkualitas memiliki integritas serta ketangguhan yang sudah teruji. Sejarah pun memberikan kesaksian bahwa Syafruddin Prawiranegara memiliki kredibilitas untuk meneruskan pemerintahan republik Indonesia yang baru merdeka, sekaligus menjadi bukti bahwa Indonesia tetap memiliki pemerintahan yang sah di mata dunia internasional, meski Soekarnp dan Moch. Hatta berada dalam penjara Belanda.
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia yang berada di Bukit Tinggi, Sumatra Barat ketika itu, merupakan simbol dari keberlanjutan pemerintahan Indonesia yang tidak kehilangan legitimasi di mata penjajah maupun dunia internasional serta dari bangsa asing.
Syafruddin Prawiranegara yang berasal dari keluarga priyayi yang tumbuh dari lingkungan keluarga yang religius, nasionalis serta berpendidikan tinggi Rechts Hogeschool (RHS), Sekolah Tinggi Hukum pada masa Hindia Belanda, di Batavia, yang menjadi Jakarta sekarang.
Karena itu sebelumnya, Syafruddin Prawiranegara pantas menjadi Menteri Kemakmuran (1946-1947) mulai dari Kabinet Sutan Syahrir, Kabinet Amir Syarifuddin. Lalu menjadi Menteri Keuangan (1947-1949) dan Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia (1948-1949) saat Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Jadi wajar bila kemudian Syafruddin Prawiranegara menjadi Gubernur Bank Indonesia yang pertama pada masa itu (1953-1958), serta menjadi Anggota Dewan Konstituante (1955-1959) mewakili partai Masyumi, lalu ikut merumuskan dasar negara sebelum dekrit Presiden Sukarno tahun 1959 dilakukan.
Sebagai Pemimpin Tertinggi Negara dan Pemerintahan dengan de facto, dilaksanakan Syafruddin Prawiranegara dengan penuh kesadaran sebagai amanah—tidak hanya sebagai dari Presiden Soekarno dkk—tetapi juga dari kesadaran mengemban amanah bangsa dan negara Indonesia yang harus tetap diperjuangkam umtuk meraih kemerdekaan guna mewujudkan cita-cita luhur bangsa yang adil dan sejahtera dalam arti luas.
Sebagai Menteri Keuangan, Syafruddin Prawiranegara dikenal juga karena kebijakan moneternya yang acap disebut “Gunting Syafruddin” dalam upaya pengendalian inflasi pasca-kemerdekaan Indonesia. Sehingga sebagai negarawan yang kuat dan teguh memegang prinsip hingga menjadi simbol integritas dan keteguhan moral yang tidak tergoyahkan, ia pun tegas menyatakan penolakan terhadap korupsi seperti yang semakin marak dan mencemaskan sekarang ini di Indonesia. Karena dia mamamg berani memilih cara hidup yang sederhana dan bersahaja untuk tetap konsisten memperjuangkan prinsip demokrasi dan keadilan di negeri ini.
Oleh karena itu tidaklah berlebih bila sosok Syafruddin Prawiranegara sering disebut banyak orang sebagai penjaga kedaulatan dan keberlangsungan Republik Indonesia yang tidak boleh dirusak seperti yang terjadi dan sangat mencemaskan terjadi di Indonesia sekarang. Sosok Syafruddin Prawiranegara diakui sangat besar peranannya dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. Meski nama besarnya itu nyaris tidak pernah dapat ditemui terpasang menjadi nama jalan untuk mengabadikan jasa besar yang telah dilakukannya. Termasuk di jalan kota Serang, Banten yang sepatutnya membuat monumen sejarah untuk tidak melupakan sang pahlawan. Karena semua itu merupakan bagian dari wujud penghargaan yang bernilai spiritual dan sakral untuk tetap dikenang.
Lantas itukah dampak buruk dari perselisihan pendapat antara Syafruddin Prawiranegara yang terjadi dengan Soekarno kemudian ? Terutama saat demokrasi terpimpin dikumandangkan dan akibat dari pemberontakan PPRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) meski kedua gerakan itu hanya untuk ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia agar tetap solid dan sukses menggapai cita-cita luhur yang telah disepakati dan dicanangkan bersama dalam tujuan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Pilihan sikap Syafruddin Prawiranegara bergabung dengan PPRI yang berbasis di Sumatra pada tahun 1958, sebagai ungkapan dari sikap penentangannya terhadap Soekarno yang sudah terlalu berlebihan berbuat sentralistik (terpusat) dan mengabaikan kepentingan warga masyarakat daerah. Karena itu, PPRI mendesak segera dilakukan semacam desentralisasi kekuasaan dan meningkatkan kesejahteraan di daerah-daerah yang lebih menderita dari warga bangsa Indonesia yang ada di pusat.
Perbedaan pandangan politik dari sejumlah tokoh dengan Soekarno seperti yang diikuti juga oleh Soemitro Djojohadikusumo—ayahanda Presiden Prabowo Subianto—terbilang sebagai salah satu tokoh terpenting yang ikut bersama PPRI. Meski kemudian PPRI ditafsirkan secara sepihak sebagai kelompok pembalelo. Padahal, mereka semua adalah tokoh pejuang dan sosok pahlawan tulen yang sejati yang bersedia mempertaruhkan segalanya untuk republik ini. Jadi begitulah nilai-nilai spiritual para founding father dan founding mather kita di negeri ini dahulu. Berjuang tanpa pamrih, apalagi hanya sekedar untuk mengejar material —yang tidak relevan dengan dimensi dan bobot spiritual para tokoh bangsa yang terlupakan itu. Agaknya, makna dari Jas Merah—jangan sekali-kali melupakan sejarah seperti diucapkan oleh Soekarno itu—juga tampaknya relevan untuk mengenang sosok Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden Indonesia—yang justru melakukannya dalam kondisi darurat—agar tidak sampai dianggap hilang atau dilupakan orang. Meski realitasnya begitulah yang terjadi sekarang.
- Penulis: Rls/Red
- Editor: Syarif Hidayatullah
- Sumber: Jacob Ereste
Saat ini belum ada komentar