“Bangsa Ini Tersakiti: Jemaah Terlantar, Guru Terhina, Reshuffle Menteri Agama”
- account_circle Egi Hendrawan
- calendar_month Kam, 4 Sep 2025
- visibility 20

Tegarnews.co.id-Jakarta, 4 September 2025| Sorotan publik terhadap Menteri Agama Nasaruddin Umar semakin tajam. Dua isu besar yang menjeratnya—kegagalan dalam penyelenggaraan Haji 2025 dan pernyataannya soal guru yang dianggap merendahkan—mendorong desakan reshuffle kabinet makin bergema.
Dalam pelaksanaan haji, sederet masalah besar tidak bisa ditutup-tutupi. Evakuasi jemaah di Muzdalifah terlambat 40 menit, membuat ribuan orang kelelahan. Pasangan suami-istri, orang tua-anak, hingga lansia dengan pendamping dipisahkan penempatannya di hotel. Penempatan tenda di Arafah pun kacau, sebagian jemaah terpaksa berpindah-pindah sebelum akhirnya dialihkan ke tenda cadangan.
Belum cukup di situ, perubahan mendadak aturan syarikah dari otoritas Saudi membuat sistem operasional kocar-kacir. Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan melaporkan dugaan monopoli layanan Masyair dan penyediaan konsumsi jemaah yang di bawah standar gizi ke KPK.
Meski Menteri Agama telah meminta maaf, publik menilai permintaan itu tidak cukup untuk menutupi kegagalan sistemik yang menodai ibadah suci umat.
Kekecewaan semakin dalam setelah ucapan Menag dalam acara Pendidikan Profesi Guru (PPG) di UIN Jakarta viral: “Kalau mau cari uang jangan jadi guru, jadi pedaganglah.” Potongan kalimat itu menimbulkan luka mendalam bagi para guru, terutama honorer, yang selama ini hidup dengan gaji minim.
Menag memang kemudian mengklarifikasi dan meminta maaf, menyebut tak ada niat merendahkan profesi guru. Namun, bagi banyak kalangan, ucapan tersebut sudah terlanjur melukai.
Aktivis Nasional Jambore 2017, Egi Hendrawan, menilai persoalan ini bukan sekadar salah ucap.
“Guru adalah pelita bangsa. Saat seorang Menteri menyamakan mereka dengan pedagang hanya karena persoalan gaji, itu penghinaan terhadap pengabdian mereka. Ditambah kekacauan haji, ini bukti Kementerian Agama kehilangan nurani,” tegasnya.
Egi menambahkan, reshuffle bukan sekadar pilihan politik, melainkan kebutuhan moral bangsa.
“Bangsa ini butuh pemimpin yang berhati nurani, bukan sekadar pejabat yang minta maaf setelah semua terjadi. Jika suara rakyat terus diabaikan, gelombang perlawanan akan semakin membesar,” ujarnya.
Kini bola panas berada di tangan Presiden. Apakah reshuffle akan dilakukan demi mengembalikan kepercayaan rakyat, ataukah publik kembali dibiarkan menanggung kecewa?[]
- Penulis: Egi Hendrawan
- Editor: Redaksi
- Sumber: Tim/Red
Saat ini belum ada komentar