Hilangnya Dokumen Girik, Cermin Kelalaian Negara dan Ancaman Hilangnya Hak Rakyat
- account_circle Rls/Red
- calendar_month 3 jam yang lalu
- visibility 3

Tegarnews.co.id-Bekasi,14 Oktober 2025| Girik atau Letter C merupakan dokumen penting dalam sejarah administrasi pertanahan di Indonesia sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960. Walau tidak lagi diakui sebagai bukti hak milik secara yuridis, girik tetap memiliki nilai historis dan administratif sebagai penanda hubungan hukum antara seseorang dengan sebidang tanah. Dokumen ini juga menjadi jejak penguasaan tanah pada masa kolonial, di mana sistem Verponding dan Kadaster diberlakukan sebagai dasar pencatatan pajak serta pengukuran tanah.
Kadaster adalah sistem pendaftaran tanah formal yang memuat data kepemilikan, batas, dan ukuran tanah secara sistematis. Sementara Verponding menunjukkan bahwa tanah tersebut dikenakan pajak dan tercatat secara administratif. Setelah kemerdekaan, dokumen- dokumen tersebut kerap dijadikan dasar konversi hak tanah menuju sertifikat melalui mekanisme UUPA 1960. Dengan demikian, girik dan letter C masih berperan penting dalam pembuktian administratif dan historis hak atas tanah.
Hilangnya dokumen girik dari dua kelurahan merupakan persoalan serius yang mencerminkan kelalaian dalam tata kelola arsip negara. Dokumen girik tergolong arsip statis yang wajib disimpan karena memiliki nilai historis dan hukum. Ketidakmampuan kelurahan menemukan arsip tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk maladministrasi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, seperti inkompetensi pelayanan publik, penyalahgunaan wewenang, atau pengabaian kewajiban hukum.
Tindakan pejabat yang lalai menjaga arsip negara juga dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa atau onrechtmatige overheidsdaad. Karena itu, pertanggungjawaban tidak cukup berhenti pada teguran etik, melainkan harus disertai penegakan sanksi administratif hingga pidana. Pemerintah daerah melalui inspektorat dan dinas kearsipan perlu segera melakukan audit menyeluruh terhadap sistem pengelolaan arsip pertanahan di wilayah yang bersangkutan.
Secara hukum, Pasal 42 ayat (3) dan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 menegaskan bahwa arsip negara yang tergolong arsip terjaga wajib dilindungi keutuhan, keamanan, dan keselamatannya. Pejabat yang lalai menjaga arsip dapat dipidana hingga satu tahun penjara atau denda Rp25 juta, dan bagi yang sengaja memusnahkan arsip negara di luar prosedur dapat dihukum hingga sepuluh tahun penjara dan denda Rp500 juta. Ketentuan ini diperkuat dengan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang melarang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik.
Hilangnya dokumen girik bukan sekadar persoalan administratif, melainkan kegagalan negara dalam melindungi hak konstitusional rakyat atas tanah. Hak waris dan sejarah keluarga bisa lenyap hanya karena kelalaian birokrasi. Negara wajib menjamin kepastian hukum, menindak pejabat yang lalai, serta memulihkan hak masyarakat yang dirugikan. Satu girik yang hilang berarti hilangnya identitas hukum rakyat, dan itu tidak boleh terjadi dalam sistem pemerintahan yang menjunjung akuntabilitas dan keadilan.[]
Opini: Agung Sulistio, Pimpinan Redaksi Sahabat Bhayangkara Indonesia
- Penulis: Rls/Red
- Editor: Redaksi
- Sumber: SBI
Saat ini belum ada komentar